Jumat, 21 Desember 2012

:'(

Baru aja ditelpon sama mama. Jelasin panjang lebar tentang papa.

Kemarin mereka pergi ke Surabaya, tanda tanya besar donk di kepalaku?

Ternyata papa periksa ke dokter, dan...

Papa kena jantung coroner. Mama jelasin ini itu. Yang gara-gara banyak ngerokok lah, makan lemak-lemak, dll :'(

Sebenernya kaget dan pengen banget nangis. Tapi nggak bisa. Nggak bisa karena denger suara mama tegar tapi bergetar.

Aku cuma bisa oooh oh aja. Nggak tau mesti bilang apa.

Cuma diam dan dengerin.

Silent :'(

Kamis, 20 Desember 2012

Bbbrr ...

Aduh, kebelet pipis. Hahaha. Biarin deh, yang jelas, semua udah kelar :p

Udah selesai bayar semesteran. Lega deh. Habis gitu, hujan-hujan basah kuyup. Hhmm.

Apa yah yang mau diomongin. Nggak ada deh. :D

Ok deh kalo gitu. See u :D

Rabu, 19 Desember 2012

ALIRAN FILSAFAT IDEALISME



Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Tegasnya, idealisme adalah aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007 : 416)
Menurut Ahmad Agung yang dikutip dari bukunya Juhaya S. Pradja (1987 : 38) ada beberapa jenis idealisme, diantaranya :
1)   Idealisme subjektif atau juga disebut immaterialisme, mentalisme, dan fenomenalisme. Seorang idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal, jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Objek pengalaman bukanlah benda material; objek pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu benda-benda seperti bangunan dan pepohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya.
2)   Idealisme objektif, yakni dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.
3) Idealisme individual atau idealisme personal, yaitu nilai-nilainya dan perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme ini muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik.

C. Tokoh Aliran Filsafat Idealisme
1.    Plato (427-374 SM)
Plato adalah murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
2.    J. G. Fichthe (1762-1914 M)
Johann Gottlieb Fichte adalah filosuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788 M. Berkenalan dengan filsafat Kant di Leipzig 1790 M. Berkelana ke Konigsberg untuk menemui Kant dan menulis Critique of Relevation pada zaman Kant. Buku itu dipersembahkannya kepada Kant. Pada tahun 1810-1812 M ia menjadi rektor Universitas Berlin.
Filsafatnya disebut Wissenschaftslehre (ajaran ilmu pengetahuan). Dengan melalui metoda deduktif fichte mencoba menerangkan hubungan Aku (Ego) dengan adanya benda-benda (non-Ego). Karena Ego berpikir, mengiakan diri maka terlahirlah non-Ego (benda-benda). Dengan secara dialektif (berpikir dengan metoda : tese, anti tese, sintese) Fichte mencoba menjelaskan adanya benda-benda.
Secara sederhana dialektika Fichte itu dapat diterangkan sebagai berikut: manusia memandang obyek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindera obyek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan obyek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirannya.
Fichter menganjurkan supaya kita memenuhi tugas, dan hanya demi tugas. Tugaslah yang menjadi pendorong moral. Isi hukum moral ialah berbuatlah menurut kata hatimu. Bagi seorang idealis, hukum moral ialah setiap tindakan harus berupa langkah menuju kesempurnaan spiritual.
3.    F. W. S. Schelling (1775-1854 M)
Friedrich Wilhem Joseph Schelling telah mencapai kematangan sebagai filosuf pada waktu itu ia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, ketika usianya baru 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Sampai akhir hidupnya pemikirannya selalu berkembang. Namun, continuitasnya tetap ada. Dia adalah filosuf idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel. Ia pernah menjadi kawan Fichte.
Bersama Fishte dan Hegel, Sheiling adalah idealis Jerman yang terbesar. Pemikirannya pun merupakan mata rantai antara Fishte dan hegel. Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan tugas manusia dan sebagai basis kebebasan moral, Schelling membahas realitas lebih obyektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme absolute. Dalam pandangan Scheiling, realitas adalah identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi secara dialektis. Pada Schelling, juga pada Hegel, realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasi berupa suatu ekspresi kebenaran terakhir. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna.
4.    G. W. F. Hegel (1770-1031)
George Wilhem Friedrich Hegel lahir pada tahun 1770 M di Stuttgart. Ini adalah tahun-tahun Revolusi Prancis yang terkenal itu (1789 M), juga merupakan tahun-tahun berbunganya kesusasteraan Jerman.. Lessing, Goethe dan Schiller hidup pada periode ini juga.
Idealisme di Jerman mencapai puncaknya pada masa Hegel. Ia termasuk salah satu filosuf barat yang menonjol. Inti filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh, spirit), suatu istilah diilami oleh agamanya. ia berusaha menghubungkan Yang Mutlak itu dengan Yang Tidak Mutlak. Yang Mutlak itu roh (jiwa), menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya Idea, artinya: berpikir.
Idea yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Demikianlah proses roh atau Idea yang disebut Hegel: Dialektika. Proses itu berlaku menurut hukum akal. Sebab itu yang menjadi aksioma Hegel: apa yang masuk akal (rasional) itu sungguh riil, dan apa yang sungguh itu masuk akal.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran idealisme ini aliran yang mengemukakan bahwa sesuatu hal akan muncul berangkat dari ide. Ungkapan terkenal dalam aliran ini adalah “ segala yang ada hanyalah yang ada” sebab yang ada itulah adalah gambaran atau perwujudan dari alam pikiran (bersifat tiruan).

D. Idealisme dan Filsafat Pendidikan
Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan secara terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh keinsafan.
Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.

E. PENGARUH IDEALISME DI RUANG KELAS
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
            Guru menjadi agen penting dalam menolong siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin Guru idealis menyajikan bahan belajar warisan budaya yang terbaik. Membuat siswa berperan dalam menyumbangkan karya mereka untuk masyarakat. Guru idealis akan menekankan para siswa untuk menggapai cita- cita tertinggi yang mampu ia raih. Menunjukkan jalan bagi siswa untuk mencapai yang terbaik dalam hidup. Visi hidup haruslah tinggi sehingga menginspirasi siswa untuk berjuang lebih keras. Siswa tidak boleh terpengaruh dengan kondisi sosial yang tidak mendukung pencapaian cita- cita. Siswa diajarkan untuk berani bermimpi kemudian berjuang keras untuk mewujudkan mimpi- mimpinya.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
            Power (1982:89) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme sebagai berikut :
1). Tujuan Pendidikan
Pendidikan formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial
2). Kedudukan Siswa
Bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya/bakatnya.
3). Peranan Guru
Bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan siswa
4). Kurikulum
Pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memproleh pekerjaan
5). Metode
Diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan
            Menurut Kant, guru harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sabagai alat. Guru harus bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia merupakan contoh yang baik untuk diterima oleh siswanya. Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti dan abadi, dimana tujuan itu berada di luar kehidupan sekarang ini. Tujuan pendidikan idealisme akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi, yang berasal dari Tuhan. (http://salimafarma.blogspot.com/2011/05/aliran-idealisme.html)

ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME



ALIRAN PRAGMATIS
A.    Sejarah Pragmatisme
            Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Keiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun dalam kesimpulannya. Pragmatisme Pierce dilandasi oleh fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikilogis, dan bahkan mungkin religius.
            Istilah pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” artinya praktik atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan.
            Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena alirannya ini menganggap bahwa potensi intelegensi manusia sebagai kekuatan utama manusia harus dianggap sebagai alat (instrumen) untuk menghadapi semua tantangan dan masalah dalam pendidikan. Intelegensi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk hidup, unuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Selain itu instrumentalisme menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tuju`n akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan berikutnya.
            Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya. Eksperimentalisme menyadari dan mempraktekkan bahwa asas eksperimen (percobaan ilmiah) merupakan alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori. Percobaan-percobaan tersebut akan membuktikan apakah suatu ide, teori, pandangan, benar atau tidak. Denganpercobaan itulah subyek memiliki pengalaman nyata untuk mengerti suatu teori, suatu ilmu pengetahuan.


B.     Konsep Pragmatisme
       Konsep dasar filsafat pragmatisme di antaranya :
1.    Realitas
Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realitas. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Menurut Dewey, manusia secara langsung mencari dan menghadapi suatu realita disini dan sekarang sebagai lingkungan hidup. Hakekat realita adalah perubahan yang terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan di jagat raya ini. Teori ini didasari pandangan yang disebut “panta rei”, artinya mengalir secara terus-menerus. Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan hakikat dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh pancaindera manusia.
Pengalaman manusia tentang penderittaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan, kekacauan, kebodohan, kegagalan hidup dan sebagainya merupakan realita yang dihadapi manusia sampai ia mati. Pengalaman merupakan suatu perjuangan, karena hidup sebenarnya adalah perubahan-perubahan itu sendiri.
2.      Pengetahuan
  Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti. Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Inti dari pengalaman adalah berupa masalah-masalah yang dihadapi oleh individu atau sekelompok individu. Pengalaman pada dasarnya selalu berubah, maka unuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan pengetahuan-pengetahuan atau hipotesis-hipotesis. Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup. Nilai pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis.
Menurut John Dewey,yang dikemukakan oleh Waini rasyidin (1992 : 144), dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalm memecahkan masalah hendaknya melalui lima tahapan yaitu :
a.    Indeterminate situasion
b.    Diagnosis
c.    Hypotesis
d.    Hypotesis testing
e.    Evaluasion
3.      Nilai
  Pragmatisme mngemukakan pandangan tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan. Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak tidak memihak, dan secara ilmiah memiliki nilai-nilai yang tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Nilai-nilai itu tidak akan dipaksakan dan akan disetujui setelah diadakan diskusi secara terbuka. Nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan perasaan serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak sebagai kesatuan antara faktor biologis dan sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilaku manusia, sebagai suatu pengetahuan dan sebagai suatu ide.
C.    Implikasi Filsafat Pendidikan Pragmatisme
a.    Konsep pendidikan
Menurut Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan. Kedua teori tersebut adalah paham konservatif dan “unfolding theory” (teori pemerkahan). Menurut teori konservatif, pendidikan adalah suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada pada anak. Jelasnya pendidikan merupakan proses pembentukan jiwa dari luar, dimana siswa tinggal menerima pelajaran saja, materinya sudah ditentukan pendidik.
Sedangakan “unfolding theory” berpandangan bahwa anak akan berkembang dengan sendirinya, karena kekuatan laten yang dimilikinya.  Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, tetapi merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu dapat dikatakan baik anak maupun dewasa selalu belajar dari pengalaman.
John Dewey mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan berdasarkan atas tiga pokok pemikiran, yaitu,
1). Pendidikan merupakan kebutuhan hidup
Karena adanya anggapan baahwa pendidikan selain sebagai alat, juga berfungsi sebagai pembaharuan hidup, “a renewal of life”. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju pada pembaharuan.hidup merupakan keseluruhan tingkatan pengalaman individu dengan kelompok. Untuk kelangsungan hidup diperlikan usaha untuk mendidik anggota masyarakat, mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan sebagai minat pribadi (personal interest). Bahwa pembaharuan hidup tidak otomatis, melainkan banyak tergantung pada teknologi, seni, ilmu pengetahuan, dan perwujudan moral kemanusiaan. Untuk itulah semuanya membutuhkan pendidikan.
2). Pendidikan sebagai pertumbuhan
  Menurut Dewey, pertumbuhan merupakan perubahan yang berlangsung terus untuk mencapai suatu hasil selanjutnya. Pertumbuhan itu terjadi karena kebelummatangan. Disitu anak memiliki kapasitas pertumbuhan potensi, yaitu kapasitas yang dapat tumbuh menjadi sesuatu yang berlainan, karena pengaruh yang datang dari luar. Ciri dari kebelummatangan adalah adanya ketergantungan dan plastisitas anak. Kalau diterapkan pada pendidikan, bahwa kekuatan untuk tumbuh tergantung pada kebutuhan atau ketergantungan terhadap orang lain dan plastisitas yang dimiliki anak. Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari pengalaman, yang merupakan pembentukan kebiasaan. Kebiasaan yang mengambil “habituation” , yaitu keseimbangan dan kebutuhan yang ada pada aktivitas dengan lingkungan dan kapasitas yang aktif untuk mengadakan penyesuaian kembali.
3). Pendidikan sebagai fungsi sosial
Kelangsungan hidup terjadi karena self renewal. Kelangsungan ini terjadi karena pertumbuhan , karena pendidikan yang diberikan pada anak-anak dan pemuda di masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan “a process of leading and bringing up”, pendidikan merupakan suatu cara yang ditempuh masyarakat dalam membimbing`anak yang masih belum matang menurut bentuk susunan sosial sendiri.
Sekolah merupakan alat transisi, merupakan suatu lingkungan khusus yang memiliki tiga fungsi, yaitu, yang pertama, menyederhanakan dan menerbitkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang. Kedua, memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada. Ketiga, menciptakan lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik daripada yang diciptakan anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan.
b.    Tujuan Pendidikan
Objektivitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana anak hidup, diman pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Menurut pragmatisme, tujuan pendidikan tidak dapat ditetapkan pada semua masyarakat, kecuali apabila terdapat hubungan timbal balik antara masing-masing individu antara masyarakat tersebut. Tujuan pendidikan adalah kehidupan yang baik, yang dapat dimiliki oleh individu maupun masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan pertumbuhan yang maksimum, yang dapat diukur oleh yang memiliki intelegensi yang baik. Perbuatan yang cerdas merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan.
c.       Proses Pendidikan
Menurut filsafat pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya. Bahan pelajaran terdiri atas seperangkat tindakan untuk memberi isi kepada kehidupan sosial yang ada pada waktu itu. Dewey tidak setuju pada bahan pelajaran yang telah disampaikan terlebih dahulu. Karena realitas dihasilkan dari interaksi manusia dengan lingkungannya, maka anak harus mempelajari dunia seperi dunia mempengaruhinya, dimana ia hidup. Sekolah tidak dipisahkan dari kehidupan, seperti dikemukakan Bode : sekolah merupakan cara khusus untuk mengatur lingkungan, direncanakan, dan diorganisasikan, dengan sekolah kita dapat menolong anak yang dalam menciptakan kehidupan yang baik. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk suatu kehidupan.
Pragmatisme meyakini bahwa pikiran anak itu aktif dan kreatif, tidak secara pasif saja menerima apa yang diberikan gurunya. Pengetahuan dihasilkan dengan transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran adalah termasuk pengetahuan. Dalam situasi belajar, guru menyusun situasi-situasi belajar mengenai masalah utama yang dihadapi. Dalam menentukan kurikulum, setiap pelajaran tidak boleh terpisah, harus merupakan satu kesatuan. Caranya adalah mengambil suatu masalah menjadi pusat segala kegiatan.
Kesimpulan dari Implikasi
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua kegiatan anak dilakukan sendiri seiring dengan minat dan kebutuhan yang dipilih, tetapi guru tetap memberikan arahan yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.
Kekeliruan Pragmatisme:
1.      Kritik dari segi landasan ideologi pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Dengan demikian konteks ideologis pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
2.      Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari empirisme nampak jelas menggunakan metode ilmiah, yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains teknologi maupun ilmu sosial kemasyarakatan ini adalah suatu keilmuan.
3.      Kritik terhadap pragmatisme sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan menggunakan praktis yang dihasilkannya, untuk memenuhi kebutuhan manusia.
            Ide ini bertentangan dari tiga sisi, yaitu:
a.       Pragmatisme mencampuradukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya.
b.      Pragtisme menafikkan peran akal manusia (pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instingtif).
c.       Pragmatisme menimbulkan realitivitas/ kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek nilai ide baik individu, kelompok dan masyarakat dan perubahan konteks waktu dan tempat.

DAFTAR RUJUKAN
Syaripudin, Tatang. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu.http://sataaswelputra.blogspot.com/2008/06/filsafat-pragmatisme-dan-implikasinya.html#ixzz2D0NcqIZ6